Oleh Edi Basuki
Diakui atau tidak, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan
wujud partisipasi masyarakat pada dunia pendidikan menjadi sangat
strategis, sebab PKBM yang didirikan oleh, dari dan untuk masyarakat
mempunyai banyak dimensi, baik sosial, ekonomi dan politik sebagai upaya
memberdayakan masyarakat melalui pendidikan nonformal (PNF). Kini,
perkembangan PKBM, menurut para pegiat PNF, sangat menggembirakan
sekali. Bak jamur dimusim penghujan, dimana-mana tumbuh subur. Salah
satu keunggulannya adalah, penyelenggaraannya sangat fleksibel sesuai
kebutuhan masyarakat, proses pembelajaran, kurikulum dan waktunya tidak
kaku, tidak seperti sekolah formal.
Hal ini merupakan bukti tumbuhnya kesadaran akan pentingnya
pendidikan sebagai upaya mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran. Untuk itulah, pemerintah bersama seluruh komponen
masyarakat harus bahu membahu memberikan pelayanan pendidikan kepada
setiap warga masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya, sesuai
jargon menjangkau yang tak terlayani. Dengan kata lain, PNF menjadi
solusi untuk memberdayakan masyarakat marginal melalui pendidikan.
PKBM, baik yang diprakarsai oleh perorangan, yayasan agama,
organisasi kemasyarakatan, maupun lembaga yang lain, intinya sama,
bertujuan memintarkan masyarakat dalam menghadapi hidup dan kehidupan
yang lebih baik. Sebagaimana diketahui, bahwa PKBM sebagai pusat
kegiatan belajar masyarakat memiliki program pendidikan
yang sangat bermanfaat untuk melayani masyarakat yang belum tuntas
belajarnya.
Biasanya, pengelola PKBM yang aktif dan kreatif, akan selalu berupaya
mencari mitra untuk mengembangkan lembaganya. Biasanya pihak-pihak yang
dihubungi itu, selain perorangan, juga perusahaan yang mempunyai
program CSR, lembaga2 sosial (LSM, baik dalam negri maupun luar negri),
departemen, pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, dan lain-lain.
Bidang garapnya pun beragam, mulai dari penyelenggaraan program PAUD,
KF, TBM, dan lainnya, yang nota bene sumber dananya dari kemendikbud.
Begitu juga dengan program kesetaraan, baik untuk tingkat SD, SMP
maupun SMA, dimana ijasahnya telah mendapatkan hak eligibilitas, yaitu lulusannya diakui setara dengan sekolah formal.
Ada juga program lain yang digarap oleh PKBM diluar program baku.
Seperti pendampingan masyarakat, pemberdayaan ekonomi, memberi bantuan
hukum, serta penyuluhan bidang pertanian dan peternakan, bekerja sama
dengan instansi terkait yang membidangi. PKBM yang bisa melakukan
kegiatan ini, tentu sangat tergantung kepada pengelola dan tutor yang
cerdas, kreatif dan aktif dalam melihat peluang potensi yang bisa
dijadikan program lembaga.
Begitu juga sumber dananya. Ada PKBM yang mempunyai usaha sendiri,
sehingga bisa mandiri dalam hal operasionalisasi program-program
lembaga. Ada pula PKBM yang sepenuhnya menggantungkan bantuan dari dana
blockgrand, atau bansos dari kemendikbud. Karena, tanpa itu mereka tidak
bisa bergerak leluasa, bagai kata pepatah, hidup enggan mati tak mau.
Ya, semuanya memang tergantung pada tujuan pendirian PKBM.
Dalam perkembangannya, sudah banyak PKBM yang telah memiliki gedung
sendiri, SDM yang berkelas dan sarana prasarana pendukung yang memadai.
Namun, tidak sedikit yang masih ‘ndompleng’ dengan lembaga lain, seperti
menempati Balai Desa, pinjam gedung SD, kerjasama dengan pondok
pesantren, maupun menempati fasilitas umum lain yang ada di desa. Inilah
salah satu bentuk fleksibilitas pembelajaran model pendidikan luar
sekolah, Kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja, belajar apa saja,
yang penting bisa belajar dalam rangka menambah wawasan.
Pengelolanya pun beragam, sesuai latar belakang pendidikan, tingkat
sosial ekonomi, idealism dan kepentingan lain yang menyertainya. Begitu
juga masyarakat yang menjadi sasaran program, juga sangat berpengaruh
terhadap mutu pembelajaran dan semangat pengelola dalam mengabdikan diri
di jalur PNF. Yang jelas, keberadaan PKBM sangat membantu pemerintah
dalam upaya pemerataan pendidikan kepada masyarakat yang oleh karena
sesuatu tidak bisa ikut menikmati sekolah formal.
Meskipun mutu pembelajarannya kebanyakan masih ‘ala kadarnya’, namun
kenyataannya, banyak lulusan PKBM yang bisa meningkat kualitas hidupnya.
Tidak sedikit yang mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi, atau pun memasuki dunia kerja dengan gaji yang lumayan.
Termasuk berani membuka usaha mandiri, berwirausaha dengan memanfaatkan
keterampilan yang didapat dari PKBM.
Artinya, keberagaman pengelolaan masing-masing PKBM di berbagai
daerah, sesuai dengan visi misinya, sangat memperkaya khasanah ke-PLS-an
dan menarik untuk dijadikan bahan kajian, bahkan penelitian oleh para
akademisi yang berkonsentrasi di jurusan PLS (itupun kalau mau dan ada
dana proyek penelitian). Keberagaman itu pun sampai saat ini bisa
dilihat di masing-masing PKBM, walau upaya pemerintah untuk
menyeragamkan pengelolaan PKBM tak pernah berhenti.
Konon, dalam rangka ‘mengendalikan’ nafsu pendirian PKBM, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengelola, seperti harus
memiliki nilek/nilem, dan beberapa standar minimal yang harus dipenuhi.
Bahkan konon sedang diwacanakan unuk menstandarisasikan PKBM melalui
akreditasi dan verifikasi, baik lembaganya dan programnya. Namun, dalam
prakteknya akan banya menemui kendala.
Contoh, beberapa tahun yang lalu (mungkin semangatnya masih ada
sampai sekarang), ada upaya menyeragamkan PKBM agar dalam pembelajaran
kesetaraan, wajib menyusun silabus dan RPP. Berbagai latihan pun digelar
untuk menyiapkan rencana ‘silabusisasi’, juga ada wacana menstandarkan
program pendidikan kesetaraan paket C secara nasional, dan gagasan aneh
lainnya yang berupaya menyeragamkan proses belajar mengajar pada kejar
paket agar benar-benar setara dengan sekolah formal.
Tapi, apa yang terjadi?. Aturan tinggal aturan, sampai saat ini masih
banyak PKBM yang tetap menyelenggarakan pembelajaran dengan cara lama,
sesuai dengan selera konsumennya. Kalaupun ada pemeriksaan (monev),
biasanya cukup diselesaikan diatas meja dengan memamerkan buku
administrasi secara lengkap dan setumpuk silabus dan RPP serta bukti
pendukung lain yang mencerminkan bahwa PKBM itu tertib administrasi
sesuai apa yang diminta di dalam instrumen, sambil menikmati kudapan ala
kadarnya.
Nah, seandainya nanti PKBM dengan segala keunikannya itu harus
diseragamkan atas nama standar kompetensi dan standar nasional
pendidikan, apakah itu bukan berarti memformalkan pendidikan nonformal
yang luwes dan fleksibel? Karena, sesungguhnyalah PKBM itu berjalan
sesuai dengan potensi lokal dan sumber daya manusia yang ada
dibaliknya.*[eBas/humasipabi.pusat_online]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar