Oleh Edi Basuki
Konon, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, pamong belajar banyak
yang mendapat tugas di luar tupoksinya, banyak pula yang memanfatkan
waktu luangnya dengan ngamen sana sini di luar lembaganya. Memilih
keluyuran mengejar rejeki daripada konsentrasi pada tupoksinya. Mengapa
ini dibiarkan terjadi?.
Mungkin, praktek ngamen ini, biasanya dikarenakan si pamong memang
potensial, punya kemampuan lebih diatas rata-rata, profesional mengambil
hati (cari muka) kepada atasan agar sering diberi surat tugas. Tidak
menutup kemungkinan, si pamong piawai menjual diri, yaitu menawarkan
dirinya tanpa rasa malu dan sungkan kepada para pengelola program
paudni agar dalam kegiatannya selalu mengundang dirinya menjadi nara
sumber.
Biasanya, dalam budaya ngamen ini, sering diwarnai oleh suasana sikut
sikutan, saling menjatuhkan, walau kelihatannya rukun. Ya rukun ketika
tidak ada tanggapan, dan mulai cari peluang ketika mendengar ada
penyelenggara program akan mengadakan hajatan. Semua ini karena memang
aktivitas ngamen itu duitnya lebih besar, belum lagi gengsinya.
Saking enaknya ngamen, keberadaan IPABI sebagai wadah ‘berpolitik’
pamong belajar terabaikan. Sehingga, masalah ke-PB-an yang seharusnya
bisa dibahas dalam acara pengimbasan dan rapat rutin pamong belajar,
yang diselingi iuran sebagai kewajiban dari anggota organisasi IPABI,
tidak pernah dilakukan, dan celakanya, banyak pamong yang tidak tahu apa
itu IPABI dan tidak merasa menjadi anggota IPABI (aneh to?).
Contoh kecil, dulu ketika pengurus IPABI yang dimotori Fauzi,
berjibaku mengusulkan tunjangan jabatan dan sejenisnya, berapa gelintir
pamong belajar yang mau mendukung dengan komentar nakal di media
jejaring sosial ini?. Yang punya nyali berani berkomentar sebagai bentuk
dukungan, orangnya hanya itu-itu saja.
Padahal, yang pinter banyak, yang jago lobby punya koneksi luas juga
tidak sedikit. Namun semuanya mengidap sariawan. Merasa bahwa komen
nakal sebagai bentuk dukungan kepada perjuangan IPABI itu, secara financial
tidak menguntungkan, dan bisa mengganggu perolehan rejeki proyek, juga
rejeki kantor. Yang ada dibenaknya hanya duit, duit, duit dan duit,
tanpa mau berpikir tentang organisasi, jiwa korsa, dan nasib sesamanya.
Inilah bentuk ‘keuangan yang maha kuasa’ dalam arti sesungguhnya.
Kondisi semacam ini sangat sesuai dengan paham kapitalisme
materialisme, jauh dari nilai-nilai humanisme. Sehingga, ketika mantan
ketua IPABI yang ke dua, saat kegiatan di Bandung, mencoba memposting
tentang marginalisasi secara sistemik pamong belajar di P2PAUDNOI dan
BPPAUDNI, kurang mendapat sambutan yang signifikan (untuk tidak
mengatakan tidak digubris sama sekali). Tidak disambut dengan komentar
yang antusias, apalagi marah dengan nada protes.
Sungguh, perbuatan ngamen itu tidak berdosa, semua pamong belajar
dimana saja berhak mengamen, ngamen apa saja sesuai kebisaannya, yang
penting ada yang mau nanggap, ada yang mau bayar dan ‘bualannya’ masih ada yang mendengarkan dan menyukai.
Ngamen pun tidak harus dilakukan sebatas menjadi nara sumber,
fasilitator, maupun merayu menawarkan diri menjadi konsultan program.
Ngamen pun banyak variannya. Mblantik dan makelaran pun bisa dimaknai
sebagai aktivitas ngamen dalam rangka menambah rejeki untuk anak istri
dan keluarga sendiri. Semuanya sah-sah saja dilakukan. Masalah tupoksi
bisa disiasati, mudah diatur, yang penting tahu sama tahu sajalah.
Karena, kenyataannya memang begitu.
Disini berlaku, yang pandai dan cerdas kalah dengan yang bejo. Dalam
era serigala berbulu domba, yang mencoba berlaku jujur pasti hancur
(dihancurkan), sedang yang paling bejo adalah yang pandai bermain peran,
bermuka dua, mempunyai ilmu katak, tending bawahan, sikut kanan kiri
dan menjilat ke atasan. Yang bisa melakukan ini adalah mereka yang sudah
putus urat malu dan urat kemanusiaannya. Mungkin termasuk penulis
sendiri yang juga tergoda untuk itu.
Ya, ngamen di luar memang enak. Penulis pun suka, karena sadar
penulis juga manusia, punya rasa, punya asa
….[ebas/humasipabi.pusat_online]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar