Rabu, 23 April 2014

Keaksaraan Fungsional yang Belum Fungsional

Oleh Edi Basuki

Seperti tahun yang lalu, tahun ini Provinsi Jawa Timur tetap mengalokasikan anggaran ratusan juta untuk upaya pemberantasan buta aksara (dahulu buta huruf). Konon, dana yang banyak itu juga untuk pengadaan sarana prasarana pendukung program, seperti ATK, bahan belajar, aneka honor, juga untuk mengadakan kegiatan orientasi tutor dan penyelenggara, serta diklat tutor keaksaraan. Harapannya, tentu program pemberantasan buta aksara sukses, daya serap anggaran lancar dan semua yang terlibat, dari hulu sampai hilir bisa tersenyum kecipratan anggaran.

Seperti diketahui, program keaksaraan fungsional adalah upaya memberikan pengalaman belajar yang melibatkan mental dan fisik melalui interaksi antara tutor dan peserta didik, dalam rangka pencapaian kompetensi yang diharapkan, yaitu penguasaan calistung dan pengetahuan dasar yang berguna bagi peningkatan kualitas hidup dalam arti luas.

Mengingat program pemberantasan buta aksara itu sasarannya diatas usia sekolah, berusia antara 15 sampai 60 tahun, dan bekerja di sektor informal, maka dalam pembelajarannya wajib menggunakan pendekatan andragogi yang menekankan pada membimbing dan membantu orang dewasa untuk menperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk bisa membantu memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi.
Artinya, proses pembelajarannya harus berdasarkan minat kebutuhan peserta didik, serta memanfaatkan potensi lokal yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagain usaha ekonomi produktif. Di sisi lain, sikap tutor dan pengelola haruslah benar-benar bisa melayani peserta didik yang memiliki “karakter unik”, malas belajar, dan cepat bosan. Harus bisa mengkondisikan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik mau berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, dalam rangka mengembangkan budaya belajar untuk memelihara kemampuan calistung.

Inilah tantangan para pegiat program keaksaraan yang sulit dilalui tanpa dukungan kebijakan yang berkesinambungan untuk mengawal peserta didik agar terbebas dari buta aksara. Dengan kata lain, senyatanyalah program keaksaraan fungsional itu kurang digarap secara berkesinambungan, tidak ada dana kelanjutan untuk penguatan kelompok, tidak ada dana pendampingan yang signifikan. Sehingga yang terjadi, sering kali, kelompok belajar yang telah dibina selama program berjalan dan menunjukkan semangat untuk maju, terpaksa mati merana setelah program selesai, karena tidak ada yang mendampingi lagi, disamping itu modal usaha yang sedikit itu pun habis tak berbekas.

Apalagi, masyarakat sekarang semakin cerdas. Walau masih buta aksara, hanya mau belajar ikut program pemberantasan buta aksara, jika jelas bayarannya, dan jika sudah selesai programnya, mereka lebih suka bodo lagi alias buta aksara kembali. Karena dia sadar program keaksaraan ini akan selalu ada disetiap tahunnya. Sehingga yang terjadi, program beginian ini menjadi semacam ‘kegiatan karitas tanpa makna perubahan’.

Sebenarnya, para pelaku program keaksaraan itu sadar bahwa perlu ada program tindak lanjut untuk mendampingi para penyandang buta aksara, sampai dia benar-benar bisa calistung. Tidak sekedar bisa menulis nama sendiri atau nama keluarga doang. Ya, minimal kemampuan calistungnya setara sekolah dasar, sehingga nanti bisa diatur untuk langsung dinominasikan ikut ujian nasional pendidikan kesetaraan paket A (kalau mereka mau dan mampu).

Program tindak lanjut itu bisa berupa rintisan program TBM, keaksaraan usaha mandiri, maupun program PNF lainnya yang mendukung pelestarian keberaksaraan.

Tentu, bukan hanya Jawa Timur saja yang memiliki kantong buta aksara. Provinsi lain pun kiranya juga punya masalah buta aksara, hanya beda penanganannya, sehingga tidak terlalu menarik perhatian. Disinilah, perlunya ada political will dari pejabat yang membidangi program keaksaraan, agar usaha pemerintah memberantas buta aksara benar-benar berbuah manis, semanis dana program yang ratusan juta besarnya dan sering dimainkan oleh oknum yang pandai mengeksploitasi buta aksara.[edibasuki/humasipabi.pusat_online]


ebas-1*) Edi Basuki adalah pamong belajar BPPAUDNI Regional II Surabaya saat ini menjabat sebagai Humas Pengurus Pusat IPABI

sumber : http://fauziep.com/keaksaraan-fungsional-yang-belum-fungsional/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar